Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

QRIS dan e-CNY Studi Kasus Perlombaan Pembayaran Digital dan Upaya Meraih Kedaulatan Finansial

Dunia sedang menyaksikan pergeseran fundamental dalam cara transaksi dilakukan. Revolusi pembayaran digital, didorong oleh kemajuan teknologi dan perubahan perilaku konsumen, secara bertahap menggantikan uang tunai dan perbankan tradisional dengan solusi digital yang mengutamakan perangkat seluler. Kebangkitan perusahaan teknologi finansial (fintech) dan raksasa teknologi (Big Tech) dalam lanskap pembayaran semakin mempercepat transformasi ini.

QRIS dan e-CNY Studi Kasus Perlombaan Pembayaran Digital dan Upaya Meraih Kedaulatan Finansial

Lanskap Pembayaran Global yang Berubah

Menanggapi dinamika ini, banyak negara tidak hanya melihatnya sebagai evolusi teknologi semata, melainkan sebagai momen strategis untuk bertindak. Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di Indonesia dan Renminbi (RMB) Digital atau e-CNY di Tiongkok muncul sebagai contoh utama respons strategis nasional. Inisiatif ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran dan memperluas inklusi keuangan, tetapi yang lebih krusial, juga untuk menegaskan kontrol nasional atas infrastruktur keuangan kritis.

Di jantung pengembangan sistem pembayaran nasional ini terletak sebuah imperatif kedaulatan. Baik QRIS maupun e-CNY merepresentasikan dorongan menuju kedaulatan finansial yang lebih besar. Dengan membangun sistem domestik yang kuat dan interoperable, negara-negara berupaya mengurangi ketergantungan pada jaringan pembayaran global yang sudah mapan, seperti Visa dan Mastercard, serta mata uang internasional dominan seperti dolar AS, baik untuk transaksi domestik maupun, secara potensial, transaksi lintas batas.

Laporan ini akan mengupas secara mendalam kedua sistem pembayaran nasional tersebut. Dimulai dengan penjelasan rinci mengenai QRIS, termasuk mekanisme kerja, sejarah, adopsi, serta perluasannya ke ranah internasional. Selanjutnya, laporan ini akan menganalisis reaksi Amerika Serikat terhadap pengembangan QRIS. Bagian berikutnya akan membahas e-CNY Tiongkok, meliputi tujuan, fitur, dan potensi lintas batasnya. Analisis komparatif antara QRIS dan e-CNY akan disajikan, diikuti dengan pembahasan mengenai potensi lintas batas kedua sistem. Laporan ini akan ditutup dengan analisis mendalam mengenai implikasi pengembangan sistem pembayaran nasional ini terhadap konsep kedaulatan finansial di era digital.

QRIS: Menyatukan Ekosistem Pembayaran Digital Indonesia

Definisi dan Konsep Inti

Quick Response Code Indonesian Standard, atau yang lebih dikenal sebagai QRIS (dibaca Kris), adalah standar nasional untuk pembayaran menggunakan kode QR yang ditetapkan dan diatur oleh Bank Indonesia (BI). Fungsi utamanya adalah untuk mengatasi fragmentasi yang sebelumnya terjadi dalam lanskap pembayaran digital Indonesia, di mana setiap penyedia jasa pembayaran (PJP) – baik bank maupun non-bank (seperti dompet digital atau e-wallet) – memiliki kode QR sendiri-sendiri. Dengan QRIS, tercipta interoperabilitas: cukup satu kode QR yang dapat dipindai oleh berbagai aplikasi pembayaran yang mendukung standar ini, menyederhanakan proses transaksi bagi pedagang (merchant) dan konsumen.

Mekanisme: Cara Kerja QRIS

Prinsip kerja QRIS menghubungkan berbagai pihak dalam ekosistem pembayaran secara efisien. Alur transaksi dasarnya adalah sebagai berikut: Merchant menampilkan kode QRIS miliknya (baik statis maupun dinamis). Pelanggan kemudian membuka aplikasi pembayaran pilihannya (yang sudah terintegrasi dengan QRIS) dan memindai kode QR tersebut. Aplikasi akan menampilkan detail transaksi (nama merchant, jumlah pembayaran jika dinamis). Pelanggan mengonfirmasi pembayaran, biasanya dengan memasukkan PIN atau metode otentikasi biometrik. Sistem kemudian memproses transaksi, memverifikasi dana, dan mentransfer dana dari akun pelanggan ke akun merchant. Notifikasi keberhasilan transaksi diterima oleh kedua belah pihak.

QRIS memiliki beberapa mode penggunaan:

  • Merchant Presented Mode (MPM)
    Merchant yang menampilkan kode QR.
    • MPM Statis: Kode QR bersifat tetap, biasanya tercetak pada stiker atau papan informasi di kasir. Pelanggan perlu memasukkan nominal pembayaran secara manual. Mode ini populer di kalangan usaha mikro dan kecil karena implementasinya yang mudah dan murah.
    • MPM Dinamis: Kode QR unik dihasilkan untuk setiap transaksi, seringkali sudah mencantumkan nominal pembayaran. Mode ini menawarkan akurasi dan kecepatan lebih tinggi karena pelanggan tidak perlu lagi memasukkan nominal.
  • Customer Presented Mode (CPM)
    Pelanggan menampilkan kode QR dari aplikasi pembayarannya untuk dipindai oleh merchant menggunakan perangkat pemindai khusus. Mode ini relatif kurang umum dibandingkan MPM.
  • QRIS Tanpa Tatap Muka (TTM)
    Inovasi yang memungkinkan pembayaran jarak jauh dengan cara pelanggan mengunggah gambar kode QRIS yang diterima dari merchant (misalnya melalui aplikasi pesan) ke dalam aplikasi pembayarannya. Fitur ini dikembangkan salah satunya sebagai respons terhadap kebutuhan transaksi nontunai selama pandemi COVID-19.

Keamanan transaksi QRIS dijamin melalui beberapa lapisan, termasuk enkripsi data transaksi, proses otentikasi pengguna (PIN/biometrik), penggunaan kode QR unik (terutama pada MPM Dinamis), serta pengawasan ketat oleh Bank Indonesia terhadap seluruh PJP yang terdaftar.

Sejarah Pengembangan dan Peluncuran

Inisiatif pengembangan QRIS didorong oleh Bank Indonesia untuk mengatasi inefisiensi akibat banyaknya standar QR code yang berbeda di pasar dan untuk mendorong terciptanya sistem pembayaran nasional yang lebih efisien dan inklusif. Proses pengembangannya melibatkan kolaborasi erat antara BI dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI).

Secara krusial, dalam penyusunannya, QRIS mengadopsi standar internasional EMVCo untuk teknologi QR code. EMVCo adalah lembaga global yang menetapkan standar teknis untuk pembayaran yang aman, termasuk untuk kartu chip dan QR code, yang didukung oleh pemain global seperti Europay, Mastercard, dan Visa. Adopsi standar global ini menjadi argumen penting bagi BI dalam menanggapi kritik internasional, menunjukkan bahwa QRIS dibangun di atas fondasi teknis yang diakui secara global dan bukan merupakan sistem tertutup yang proteksionis.

Setelah melalui tahap uji coba pada tahun 2018, QRIS secara resmi diluncurkan oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2019, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74. Implementasi QRIS secara penuh dan kewajiban bagi seluruh PJP penyelenggara pembayaran berbasis QR code untuk menggunakan standar QRIS mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2020. Peluncuran QRIS merupakan salah satu implementasi utama dari Visi Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 yang dicanangkan oleh BI pada Mei 2019.

Adopsi Domestik dan Dampaknya

Sejak diluncurkan, adopsi QRIS di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Data Bank Indonesia secara konsisten melaporkan lonjakan volume dan nilai transaksi. Sebagai contoh, pertumbuhan transaksi tahunan(year-on-year/yoy) dilaporkan mencapai 163,32% per Februari 2025, 169% per April 2025, 207,55% pada Juli 2024, dan bahkan 226,54% pada kuartal II 2024.

Penetrasi di kalangan merchant juga sangat signifikan, terutama menyasar segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Jumlah merchant yang terdaftar terus bertambah, dari 12 juta pada November 2021 (dimana 88% adalah usaha mikro dan kecil) meningkat menjadi 32,71 juta pada Juli 2024, dan mencapai 34,23 juta pada kuartal III 2024. Data Maret 2024 menunjukkan Jawa Barat memimpin dengan 6,8 juta merchant. Mayoritas besar merchant QRIS (sekitar 92,47% per Q3 2024) memang berasal dari segmen usaha mikro.

Dari sisi pengguna, jumlahnya juga terus meningkat, mencapai 50,50 juta pengguna pada Juli 2024 dan 53,3 juta pada kuartal III 2024.

Manfaat QRIS dirasakan oleh berbagai pihak:

  • Bagi Merchant (khususnya UMKM)
    Penerimaan pembayaran menjadi jauh lebih mudah dengan hanya satu kode QR untuk semua aplikasi. Terdapat potensi penghematan biaya transaksi, terutama bagi usaha mikro yang seringkali mendapatkan tarif Merchant Discount Rate (MDR) 0% atau sangat rendah. Pengelolaan keuangan menjadi lebih rapi karena transaksi tercatat secara digital. Selain itu, potensi peningkatan penjualan terbuka lebar karena dapat menerima pembayaran dari pengguna berbagai aplikasi.
  • Bagi Konsumen
    Transaksi menjadi lebih nyaman, cepat, dan aman karena mengurangi kebutuhan membawa uang tunai dalam jumlah besar. Cukup satu aplikasi untuk membayar di berbagai merchant.
  • Bagi Perekonomian Nasional
    QRIS mendorong inklusi keuangan dengan membawa lebih banyak UMKM dan masyarakat ke dalam ekosistem ekonomi digital formal. Efisiensi sistem pembayaran nasional meningkat secara keseluruhan. QRIS juga mendukung program digitalisasi pemerintah, termasuk untuk pembayaran layanan publik (P2G seperti pajak, paspor) dan penyaluran bantuan sosial (G2P), yang seringkali dikenakan MDR 0%. Pertumbuhan transaksi digital ini berkontribusi pada peningkatan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi digital nasional.

Lebih dari sekadar metode pembayaran, QRIS berfungsi sebagai lapisan dasar yang memungkinkan transformasi digital yang lebih luas di Indonesia. Keberhasilannya dalam menyatukan berbagai pemain (bank, e-wallet) dan menyederhanakan transaksi bagi sektor UMKM yang krusial tidak hanya membawa mereka ke dalam ekonomi digital formal, tetapi juga menciptakan platform yang solid. Penggunaannya dalam pembayaran pemerintah menandakan perannya sebagai infrastruktur inti. Dengan menstandarkan lapisan pembayaran dasar ini, QRIS mengurangi hambatan untuk inovasi di masa depan dalam layanan keuangan digital lainnya seperti pinjaman, asuransi, atau investasi yang ditujukan bagi pengguna dan merchant yang baru terdigitalisasi ini.

QRIS Antarnegara: Memperluas Jangkauan di ASEAN

Bank Indonesia tidak berhenti pada adopsi domestik. Inisiatif QRIS Antarnegara diluncurkan untuk memperluas kegunaan QRIS dalam memfasilitasi pembayaran lintas batas, terutama di kawasan ASEAN, dan bahkan menjajaki kerja sama lebih jauh seperti dengan Jepang.

Mekanismenya memungkinkan wisatawan Indonesia menggunakan aplikasi pembayaran domestik mereka untuk memindai kode QR milik merchant di negara mitra (misalnya Thai QR di Thailand, DuitNow QR di Malaysia, NETS QR di Singapura). Sebaliknya, wisatawan dari negara mitra dapat memindai kode QRIS di merchant Indonesia menggunakan aplikasi pembayaran mereka yang telah terhubung dalam jaringan kerja sama.

Kunci dari inisiatif ini adalah keterkaitannya dengan kerangka kerja sama Transaksi Mata Uang Lokal (Local Currency Transaction - LCT) atau sebelumnya dikenal sebagai Local Currency Settlement (LCS). Melalui kerangka LCT, penyelesaian transaksi QRIS Antarnegara diupayakan menggunakan mata uang lokal masing-masing negara secara langsung, misalnya Rupiah dan Ringgit untuk transaksi Indonesia-Malaysia. Hal ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada mata uang perantara utama seperti Dolar AS, menekan biaya konversi, dan mengurangi volatilitas nilai tukar bagi pengguna.

Hingga kini, Indonesia telah menjalin kerja sama QRIS Antarnegara dengan beberapa negara ASEAN, termasuk Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Kerja sama ini melibatkan bank sentral dan asosiasi sistem pembayaran di masing-masing negara.

Tujuan strategis QRIS Antarnegara meliputi fasilitasi perdagangan dan pariwisata antarnegara ASEAN, dukungan bagi UMKM untuk mengakses pasar regional, pendalaman integrasi ekonomi ASEAN, serta promosi penggunaan mata uang lokal dalam transaksi internasional.

Ekspansi QRIS di kawasan ASEAN, yang didukung oleh kerangka LCT, menempatkan Indonesia tidak hanya sebagai partisipan tetapi juga berpotensi sebagai pemimpin dalam membentuk standar pembayaran regional. Ini dapat dilihat sebagai bentuk soft power, di mana Indonesia mempromosikan sistem yang dikembangkannya (meskipun berbasis standar global EMVCo) sebagai solusi konektivitas regional. Keberhasilan mengajak negara-negara tetangga untuk terhubung dengan QRIS menunjukkan pengaruh Indonesia. Jaringan regional yang dibangun di sekitar QRIS dan LCT ini menciptakan ekosistem alternatif dari jaringan global berbasis Dolar AS. Oleh karena itu, inisiatif ini lebih dari sekadar memfasilitasi pembayaran turis; ini adalah tentang membangun infrastruktur regional yang sejalan dengan kepentingan Indonesia dan berpotensi menetapkan standar de facto untuk pembayaran QR di kawasan.

Sikap Trump dan AS terhadap QRIS

Pengembangan QRIS sebagai standar nasional tidak luput dari perhatian internasional, terutama dari Amerika Serikat.

Kekhawatiran QRIS sebagai Potensi Hambatan Perdagangan

Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative - USTR), khususnya dalam laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers (misalnya edisi 2025 yang dikutip dalam beberapa sumber), menyuarakan beberapa kekhawatiran terkait QRIS:

  • Kurangnya Konsultasi
    USTR mengklaim bahwa para pemangku kepentingan internasional, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank asal AS, tidak cukup diinformasikan atau dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan QRIS. Transparansi dan proses konsultasi dianggap kurang memadai.
  • Akses Pasar / Potensi Eksklusi
    Terdapat implikasi bahwa desain QRIS mungkin membatasi fleksibilitas atau partisipasi perusahaan asing. Ada kekhawatiran bahwa sistem ini tidak dirancang untuk kompatibel dengan kerangka kerja pembayaran global yang sudah ada, sehingga menyulitkan pelaku usaha asing.
  • Kekhawatiran Terkait Gerbang Pembayaran Nasional (GPN)
    Kritik serupa juga diarahkan pada GPN, sistem pemrosesan transaksi domestik Indonesia lainnya. Secara khusus, USTR menyoroti pembatasan kepemilikan asing hingga maksimal 20% bagi perusahaan yang ingin mendapatkan lisensi switching dalam jaringan GPN. Aturan ini dianggap secara efektif menghalangi layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit domestik serta membatasi ruang gerak investor asing.

Bantahan dan Sikap Bank Indonesia

Menanggapi kritik USTR, Bank Indonesia memberikan beberapa poin klarifikasi dan penegasan sikap:

  • Kepatuhan pada Standar Global
    BI secara konsisten menekankan bahwa QRIS dikembangkan berdasarkan standar internasional EMVCo, menyiratkan bahwa QRIS bukanlah sistem yang tertutup atau proteksionis, melainkan selaras dengan praktik global.
  • Keterbukaan untuk Kolaborasi
    Pejabat tinggi BI, seperti Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti, secara terbuka menyatakan kesiapan Indonesia untuk bekerja sama dengan negara mana pun, termasuk AS, dalam pengembangan QRIS dan teknologi pembayaran cepat lainnya, asalkan ada kesiapan dari kedua belah pihak. Pendekatan yang diambil ditegaskan non-diskriminatif dan berdasarkan kesiapan bersama.
  • Kehadiran Pemain AS yang Sudah Mapan
    BI menunjuk pada fakta bahwa pemain besar asal AS seperti Visa dan Mastercard masih mendominasi pasar kartu kredit di Indonesia. Hal ini digunakan sebagai argumen bahwa perusahaan AS tidak dikecualikan dari ekosistem pembayaran Indonesia dan tetap terintegrasi dengan baik.
  • Kepentingan Nasional
    Sejumlah pengamat dan ekonom di Indonesia membingkai isu QRIS dan GPN sebagai bagian dari kepentingan nasional, kedaulatan digital, dan keamanan nasional yang perlu dipertahankan dari tekanan asing.
    Beberapa juga menyoroti bahwa preferensi pasar Indonesia sedang bergeser ke arah pembayaran berbasis seluler non-kartu, di mana raksasa kartu kredit AS mungkin dianggap kurang inovatif.

Kontekstualisasi Sengketa

Penting untuk menempatkan kritik USTR terhadap QRIS dalam konteks yang lebih luas:

  • Tarif Era Trump
    Kritik ini muncul dan menjadi bagian dari negosiasi perdagangan yang lebih luas di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, yang menerapkan kebijakan tarif "resiprokal" terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Tarif impor sebesar 32% sempat diberlakukan atau diancamkan terhadap produk Indonesia. Dalam konteks negosiasi untuk mengatasi tarif ini, isu QRIS dan GPN diangkat oleh AS sebagai potensi hambatan dagang.
  • Arus Bawah Geopolitik
    Sengketa ini dapat dilihat sebagai benturan antara keinginan suatu negara untuk membangun infrastruktur digital yang berdaulat dengan kepentingan pemain global yang sudah mapan (seringkali berbasis di AS) yang menginginkan akses pasar tanpa hambatan. Hal ini terkait erat dengan tema kedaulatan digital yang lebih luas.

Fokus USTR pada "kurangnya konsultasi" dan "akses pasar" kemungkinan besar mencerminkan kekhawatiran dari raksasa pembayaran AS yang mapan (seperti Visa dan Mastercard) yang menghadapi disrupsi. QRIS, dengan menstandarkan dan berpotensi mengkomoditisasi lapisan pembayaran, memberdayakan pemain lokal (bank dan e-wallet) dan mengurangi titik pengaruh unik jaringan kartu tradisional dalam ruang pembayaran digital yang berkembang pesat. 

Bantahan BI yang menyoroti dominasi Visa/Mastercard di kartu kredit  secara implisit mengakui bahwa QRIS menargetkan segmen yang berbeda dan berkembang, yaitu pembayaran seluler. Komentar dari pengamat Indonesia yang menyatakan bahwa perusahaan AS tertinggal dalam inovasi yang diinginkan pasar memperkuat pandangan ini. Oleh karena itu, kritik USTR tampaknya kurang berkaitan dengan standar teknis QRIS (yang menggunakan EMVCo) dan lebih pada potensinya untuk menggeser kekuatan pasar dari pemain lama ke sistem seluler nasional yang terstandarisasi dan interoperable.

Pencantuman QRIS/GPN dalam laporan hambatan perdagangan dan kaitannya dengan negosiasi tarif menandakan perluasan sengketa perdagangan tradisional ke ranah infrastruktur dan standar digital. Ini menunjukkan bahwa kontrol atas sistem pembayaran semakin dipandang sebagai isu ekonomi dan geopolitik strategis, yang tunduk pada tekanan internasional dan taktik negosiasi yang sebelumnya diperuntukkan bagi barang dan jasa tradisional. 

Komentar dari tokoh seperti Marco Rubio yang menyoroti ketakutan AS kehilangan pengaruh finansial saat negara lain membangun sistem alternatif, menegaskan hal ini. Sengketa QRIS menjadi contoh bagaimana pengembangan infrastruktur digital menjadi medan baru dalam persaingan dan tata kelola ekonomi internasional.

e-cny digital yuan

Ambisi Mata Uang Digital Tiongkok: e-CNY

Sementara Indonesia fokus pada standardisasi QR code, Tiongkok mengambil langkah lebih fundamental dengan mengembangkan mata uang digital bank sentralnya sendiri.

Mendefinisikan e-CNY: Mata Uang Digital Bank Sentral Ritel (CBDC)

e-CNY, juga dikenal sebagai Yuan Digital atau RMB Digital (sebelumnya disebut DC/EP), adalah alat pembayaran yang sah dalam bentuk digital yang diterbitkan langsung oleh bank sentral Tiongkok, People's Bank of China (PBOC).3

Penting untuk dicatat bahwa e-CNY dikategorikan sebagai CBDC ritel (rCBDC), yang berarti dirancang untuk digunakan oleh masyarakat umum dan bisnis dalam transaksi sehari-hari, berbeda dengan CBDC grosir (wCBDC) yang digunakan untuk transaksi antar lembaga keuangan.

e-CNY dirancang sebagai padanan digital dan substitusi untuk uang tunai fisik (M0 - basis moneter). Nilainya dipatok 1:1 dengan RMB fisik dan akan beredar berdampingan dengannya. Sebagai kewajiban langsung dari PBOC, e-CNY memiliki status hukum yang sama dengan uang kertas dan koin RMB.

Lebih dari Sekadar Pembayaran

Pengembangan e-CNY didorong oleh serangkaian tujuan strategis yang berlapis:

  • Efisiensi & Pengurangan Biaya
    Meningkatkan efisiensi sistem pembayaran ritel dan mengurangi biaya yang terkait dengan pengelolaan uang tunai fisik (pencetakan, distribusi, penanganan, pemusnahan, dll.).
  • Inklusi Keuangan
    Menyediakan akses ke layanan keuangan digital dasar bagi populasi yang tidak memiliki rekening bank (unbanked) atau kurang terlayani (underbanked), termasuk di daerah terpencil (melalui fitur transaksi offline) dan memudahkan wisatawan asing melakukan pembayaran tanpa perlu membuka rekening bank lokal.
  • Ketahanan/Cadangan Sistem
    Menawarkan alternatif atau redundansi yang didukung negara terhadap pasar pembayaran seluler domestik yang sangat terkonsentrasi dan didominasi oleh platform swasta seperti Alipay dan WeChat Pay, sehingga mengurangi risiko sistemik jika salah satu platform mengalami gangguan.
  • Menandingi Mata Uang Digital Swasta
    Menyediakan alternatif yang teregulasi dan aman terhadap mata uang kripto swasta dan stablecoin (seperti proyek Diem/Libra yang turut memacu pengembangan e-CNY), untuk mengatasi kekhawatiran terkait stabilitas keuangan, spekulasi berlebihan, dan penggunaan untuk aktivitas ilegal.
  • Peningkatan Pemantauan & Kontrol
    Memungkinkan pemantauan aliran uang yang lebih baik untuk memerangi aktivitas ilegal (pencucian uang, korupsi, pendanaan terorisme). Secara potensial, ini juga memberikan pemerintah wawasan real-time yang lebih besar terhadap aktivitas ekonomi. Fitur programmability dapat memungkinkan penyaluran stimulus fiskal atau implementasi kebijakan moneter yang lebih tertarget.
  • Mendukung Ekonomi Digital
    Menyediakan infrastruktur pembayaran modern yang sesuai dengan tuntutan era ekonomi digital.
  • Internasionalisasi RMB
    Meskipun fokus awalnya adalah domestik, salah satu tujuan jangka panjang yang potensial dan signifikan adalah mempromosikan penggunaan RMB secara internasional. e-CNY dapat menjadi alat untuk mengurangi dominasi Dolar AS, terutama dalam konteks seperti Belt and Road Initiative (BRI) atau melalui platform pembayaran lintas batas seperti Project mBridge.

Arsitektur dan Fitur e-CNY

e-CNY dirancang dengan beberapa fitur dan karakteristik arsitektur utama:

  • Sistem Dua Tingkat (Two-Tier System)
    PBOC berada di puncak hierarki, bertanggung jawab atas penerbitan dan pengelolaan e-CNY. Namun, distribusi kepada publik dilakukan melalui operator resmi di tingkat kedua, yang meliputi bank komersial besar dan berpotensi juga lembaga pembayaran non-bank serta perusahaan telekomunikasi. Model ini memungkinkan PBOC mempertahankan kontrol pusat sambil memanfaatkan infrastruktur dan jangkauan operator yang ada untuk distribusi massal.
  • Instrumen Hibrida
    e-CNY dideskripsikan sebagai instrumen pembayaran hibrida yang berbasis nilai (value-based), kuasi-berbasis akun (quasi-account-based), dan berbasis akun (account-based). Pengguna dapat menyimpannya dalam dompet digital (digital wallet), yang bisa berupa aplikasi perangkat lunak di ponsel atau perangkat keras seperti kartu pintar atau perangkat wearable.
  • 'Anonimitas Terkendali' (Controllable Anonymity)
    Fitur ini bertujuan meniru anonimitas uang tunai untuk transaksi bernilai kecil, namun tetap memungkinkan pelacakan (traceability) untuk transaksi bernilai besar guna mencegah aktivitas ilegal. Ini merupakan upaya menyeimbangkan privasi pengguna dengan kebutuhan pengawasan regulator. PBOC mengontrol akses data transaksi dan tidak membagikannya secara luas kecuali diwajibkan oleh hukum. Tingkatan dompet digital mungkin menghubungkan tingkat anonimitas dengan batas transaksi
  • Kemampuan Offline
    Salah satu fitur unggulannya adalah kemampuan untuk melakukan transaksi bahkan tanpa koneksi internet, misalnya melalui komunikasi near-field (NFC) antar perangkat. Ini sangat penting untuk inklusi keuangan di daerah dengan konektivitas jaringan yang buruk.
    Transaksi dual offline (kedua perangkat offline) juga dimungkinkan.
  • Interoperabilitas
     e-CNY dirancang agar dapat beroperasi bersama (interoperable) dengan sistem pembayaran yang ada, termasuk rekening bank dan berpotensi dengan dompet Alipay/WeChat Pay, serta sistem kode QR yang sudah meluas di Tiongkok, untuk memudahkan adopsi.
  • Programmability
    Terdapat potensi untuk menyematkan smart contract pada e-CNY, yang memungkinkan eksekusi pembayaran otomatis berdasarkan kondisi yang telah ditentukan sebelumnya. Ini membuka peluang untuk kasus penggunaan yang lebih kompleks dan inovasi layanan keuangan.
  • Tidak Berbunga
    Simpanan e-CNY dalam dompet digital tidak menghasilkan bunga, berbeda dengan simpanan di bank. Kebijakan ini bertujuan untuk membedakannya dari deposito bank dan membatasi potensi disintermediasi perbankan (perpindahan dana besar-besaran dari bank ke e-CNY).

Tumpukan Teknologi (Technology Stack)

Berbeda dengan banyak mata uang kripto, e-CNY tidak sepenuhnya bergantung pada teknologi blockchain untuk keseluruhan sistemnya. Namun, ia memanfaatkan elemen-elemen dari teknologi ledger terdistribusi (DLT) dan kriptografi tingkat lanjut, seperti tanda tangan digital dan penyimpanan terenkripsi, untuk keamanan dan transfer nilai (yang digambarkan menggunakan string mata uang kripto).

Model manajemennya tetap terpusat di tangan PBOC. Platform e-CNY dirancang untuk tingkat keamanan, ketersediaan, dan skalabilitas yang tinggi, dengan target kapasitas pemrosesan transaksi per detik (TPS) yang ambisius (misalnya, kapasitas saat ini dilaporkan 10.000 TPS dengan target masa depan 300.000 TPS). Teknologi DLT mungkin digunakan secara lebih ekstensif untuk aplikasi spesifik, terutama dalam konteks pembayaran lintas batas seperti dalam Project mBridge.

Program Percontohan dan Kemajuan

Tiongkok telah melakukan riset CBDC sejak 2014 dan meluncurkan program percontohan (pilot program) e-CNY mulai akhir 2019 atau awal 2020. Program ini terus diperluas secara geografis, mencakup banyak kota besar dan provinsi (17 provinsi per Juni 2024, 23 kota/area per akhir 2022). Uji coba juga mencakup daerah pedesaan dan skenario lintas batas, seperti di Hong Kong SAR.

Volume transaksi yang dilaporkan terus meningkat secara signifikan, mencapai nilai kumulatif ratusan miliar hingga triliunan RMB. Kasus penggunaannya beragam, meliputi pembayaran ritel di toko, transportasi publik, pembayaran tagihan utilitas, layanan pemerintah, pembayaran gaji, hingga penyaluran subsidi. e-CNY juga diuji coba secara internasional pada Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.

Integrasi dengan platform pembayaran dominan seperti WeChat Pay dan Alipay, serta platform layanan besar lainnya seperti Meituan (pengiriman makanan) dan DiDi (transportasi), sangat membantu mendorong adopsi oleh masyarakat.

Meskipun kemajuannya pesat, adopsi e-CNY jika dibandingkan dengan skala ekonomi Tiongkok dan dominasi Alipay/WeChat Pay masih dalam tahap pengembangan. Hingga saat ini, belum ada jadwal resmi untuk peluncuran nasional e-CNY secara penuh.

Kebangkitan Alipay dan WeChat Pay telah menciptakan duopoli yang mengendalikan data pengguna dan aliran transaksi dalam jumlah besar, yang berpotensi menantang pengawasan moneter PBOC. e-CNY adalah respons langsung terhadap hal ini, bertujuan untuk menempatkan kembali bank sentral dalam alur pembayaran ritel, mendapatkan kembali visibilitas data, dan menyediakan alternatif yang dikendalikan negara. Desain e-CNY memberikan PBOC visibilitas potensial ke dalam transaksi, dan sistem dua tingkatnya menjaga PBOC tetap di pusat kendali. Dengan mendukung persaingan yang adil melawan duopoli, e-CNY bukan hanya tentang efisiensi, tetapi secara fundamental memastikan bank sentral tetap menjadi jangkar sistem pembayaran di era digital, mencegah potensi marginalisasi oleh platform swasta.

Fitur 'anonimitas terkendali', meskipun diposisikan sebagai penyeimbang privasi dan keamanan, mewakili potensi perluasan signifikan kemampuan pengawasan keuangan negara. Jika diadopsi secara luas, fitur ini dapat memberikan pemerintah data real-time yang belum pernah ada sebelumnya mengenai aktivitas ekonomi dan transaksi individu. Tingkat akses data ini jauh melampaui apa yang tersedia dengan uang tunai fisik atau bahkan pembayaran digital tradisional yang dimediasi oleh perusahaan swasta. Kekhawatiran tentang wawasan dan kontrol pemerintah dicatat dalam berbagai analisis. Oleh karena itu, 'anonimitas terkendali' dapat mendefinisikan ulang hubungan antara negara dan aktivitas keuangan individu, menciptakan alat yang ampuh untuk memantau dan berpotensi memengaruhi perilaku.

Meskipun tujuan domestik menjadi prioritas utama saat ini, potensi e-CNY untuk memfasilitasi internasionalisasi RMB (melalui mBridge, BRI, dll.) adalah permainan strategis jangka panjang. Ini menawarkan cara bagi Tiongkok untuk membangun infrastruktur keuangan alternatif yang melewati sistem dominasi dolar AS (dan alat terkait seperti SWIFT/sanksi). Project mBridge secara eksplisit menargetkan inefisiensi pembayaran lintas batas dan mempromosikan penggunaan mata uang lokal. Dorongan Tiongkok untuk perjanjian LCT melengkapi hal ini. Oleh karena itu, dimensi lintas batas e-CNY, meskipun baru lahir, terkait erat dengan strategi geopolitik Tiongkok yang lebih luas untuk membentuk kembali aspek tatanan keuangan internasional.

Membandingkan QRIS vs. e-CNY

Meskipun keduanya merupakan inisiatif pembayaran digital nasional yang signifikan, QRIS dan e-CNY memiliki perbedaan mendasar dalam teknologi, cakupan, dan tujuan strategis.

Teknologi dan Infrastruktur

  • QRIS
    Merupakan sebuah standar yang diterapkan pada teknologi QR code yang sudah ada dan mengacu pada standar global EMVCo. QRIS tidak menciptakan infrastruktur baru dari nol, melainkan mengandalkan dan mengintegrasikan infrastruktur yang sudah dimiliki oleh PJP (bank dan non-bank) untuk pemrosesan transaksi dan penyimpanan dana nasabah. Fokus utamanya adalah menciptakan interoperabilitas antar pemain yang sudah ada.
  • e-CNY
    Adalah bentuk mata uang digital baru (CBDC) yang diterbitkan oleh bank sentral. Ini mewakili jalur pembayaran (payment rail) baru yang dibangun dan dikelola (pada tingkat teratas) oleh PBOC, yang beroperasi berdampingan dengan sistem pembayaran yang ada.
    Teknologinya menggunakan pendekatan hibrida yang mungkin melibatkan elemen DLT tetapi dikelola secara terpusat.

Cakupan dan Fokus Utama

  • QRIS
    Fokus utamanya adalah menyatukan dan menstandarkan pembayaran ritel domestik melalui kode QR untuk meningkatkan efisiensi dan inklusi keuangan. Ekspansi lintas batasnya (QRIS Antarnegara) merupakan pengembangan sekunder yang berfokus pada konektivitas regional, khususnya di ASEAN.
  • e-CNY
    Memiliki cakupan yang lebih luas. Meskipun awalnya difokuskan pada pembayaran ritel domestik (sebagai pengganti M0), pengembangannya memiliki implikasi yang jauh lebih luas, mencakup potensi pengaruh terhadap kebijakan moneter, stabilitas keuangan (sebagai sistem cadangan), peningkatan kemampuan pengawasan negara, dan potensi penggunaan internasional di masa depan (baik grosir maupun lintas batas).

Tujuan Strategis

  • QRIS
    Tujuan utamanya bersifat lebih ekonomis dan infrastruktural dalam konteks nasional dan regional: meningkatkan efisiensi pembayaran domestik, mendorong inklusi keuangan (terutama UMKM), memperkuat infrastruktur pembayaran nasional, dan membina konektivitas regional ASEAN melalui LCT.
  • e-CNY
    Memiliki tujuan yang berlapis dan lebih kompleks. Selain efisiensi dan inklusi domestik, tujuannya mencakup penegasan kembali kontrol bank sentral terhadap platform swasta, peningkatan kapabilitas pengawasan negara, penanggulangan risiko dari kripto swasta, dan potensi tujuan geopolitik jangka panjang yang signifikan terkait internasionalisasi RMB dan penantangan sistem berbasis Dolar AS.

Pendekatan Interoperabilitas

  • QRIS
    Menciptakan interoperabilitas dengan mewajibkan semua PJP mematuhi satu standar kode QR yang sama, sehingga dapat berfungsi di berbagai aplikasi dan akun yang berbeda.
  • e-CNY
    Dirancang untuk interoperabilitas dengan sistem yang sudah ada (rekening bank, dompet Alipay/WeChat Pay, sistem kode QR) guna memfasilitasi adopsi oleh masyarakat. e-CNY bertujuan menjadi pilihan pembayaran tambahan dalam ekosistem yang ada, namun merupakan pilihan yang dikendalikan langsung oleh PBOC.

Tabel Perbandingan Fitur

Tabel berikut merangkum perbedaan utama antara QRIS dan e-CNY:

FiturQRIS (Indonesia)e-CNY (Tiongkok)
TipeStandar Pembayaran (Interoperabilitas Kode QR)Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC) - Ritel
Penerbit/OperatorBank Indonesia (Penentu Standar), PJP (Operator)People's Bank of China (Penerbit - Tingkat 1), Operator Resmi (Tingkat 2)
Aset DasarTerhubung ke dana Rekening Bank / E-wallet yang adaKewajiban langsung PBOC (Versi digital RMB M0)
TeknologiKode QR Terstandar (EMVCo)Hibrida: DB Terpusat + elemen DLT, Kriptografi
Cakupan UtamaPembayaran Ritel DomestikPembayaran Ritel Domestik (awal), potensi penggunaan lebih luas
AnonimitasTransaksi terhubung ke akun/dompet dasar'Anonimitas Terkendali' (Nilai kecil anonim, nilai besar terlacak)
Mekanisme Lintas BatasQRIS Antarnegara (Tautan QR Bilateral/ASEAN, LCT)Project mBridge (Platform Multi-CBDC), Uji coba bilateral (mis. HK)
Tujuan UtamaUnifikasi pembayaran domestik, efisiensi, inklusiEfisiensi, Inklusi, Ketahanan, Kontrol, Internasionalisasi RMB

Perbandingan ini menyoroti bahwa QRIS dan e-CNY bukanlah solusi yang secara langsung sebanding karena mereka menargetkan tantangan inti yang berbeda. QRIS muncul dari kebutuhan untuk menyatukan pasar pembayaran digital yang sudah ada namun terfragmentasi. Sebaliknya, e-CNY dirancang untuk mengatasi risiko dan peluang di masa depan: potensi penurunan penggunaan uang tunai, dominasi platform swasta, keinginan untuk kontrol yang ditingkatkan, dan potensi internasionalisasi mata uang. Perbedaan sifat teknis mereka (standar vs. mata uang baru) semakin menegaskan bahwa perbandingan memerlukan pemahaman tentang asal-usul dan tujuan mereka yang berbeda, bukan hanya fitur permukaan sebagai "sistem pembayaran digital."

Selain itu, kedua inisiatif ini mencerminkan pendekatan yang kontras terhadap peran negara dalam pembayaran digital. QRIS mewakili intervensi regulasi untuk menstandarkan pasar yang didominasi oleh pemain swasta, dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada. Sebaliknya, e-CNY mewakili masuknya negara secara langsung ke pasar dengan instrumen dan jalur pembayaran baru yang dikeluarkan negara, yang bersaing dengan dan berpotensi membentuk kembali peran pemain swasta. 

QRIS bertujuan membuat sistem swasta yang ada menjadi interoperable, sementara e-CNY memperkenalkan alternatif publik yang dapat mendisiplinkan atau menggantikan opsi swasta. Perbandingan ini mengungkapkan model interaksi publik-swasta yang berbeda dalam masa depan uang dan pembayaran.

Kedaulatan Finansial di Era Digital

Pengembangan sistem pembayaran nasional seperti QRIS dan e-CNY tidak dapat dipisahkan dari konsep kedaulatan finansial.

Mendefinisikan Kedaulatan Finansial dalam Pembayaran

Kedaulatan finansial dalam konteks ini mengacu pada kemampuan suatu negara untuk mengendalikan mata uangnya sendiri, kebijakan moneternya, dan infrastruktur keuangan kritisnya – termasuk sistem pembayaran – secara mandiri, bebas dari pengaruh atau ketergantungan eksternal yang tidak semestinya. Di era digital, ini meluas hingga mencakup kontrol atas data transaksi dan standar teknis yang mendasari aliran dana.

Bagaimana Sistem Nasional Memperkuat Kedaulatan

Sistem pembayaran nasional seperti QRIS dan e-CNY dapat memperkuat kedaulatan finansial melalui beberapa cara:

  • Mengurangi Ketergantungan pada Jaringan Global
    Dengan menyediakan alternatif domestik (dan regional untuk QRIS) yang efisien, sistem ini mengurangi kebutuhan untuk menggunakan jaringan pembayaran global seperti Visa, Mastercard, atau sistem pesan seperti SWIFT untuk transaksi yang secara inheren bersifat domestik atau regional. Ini membatasi pengaruh entitas asing atas aliran dana internal.
  • Mempromosikan Penggunaan Mata Uang Lokal
    Kerangka LCT yang terkait dengan QRIS Antarnegara, serta potensi e-CNY (terutama melalui platform seperti mBridge) untuk memfasilitasi transaksi non-USD, secara langsung mendukung penggunaan mata uang lokal. Ini dapat mengurangi volatilitas nilai tukar yang terkait dengan penggunaan mata uang asing dan mengurangi tekanan pada cadangan devisa negara.
  • Kontrol Data
    Sistem nasional berpotensi memberikan otoritas domestik visibilitas dan kontrol yang lebih besar atas data transaksi dibandingkan jika aliran dana diproses sepenuhnya melalui perantara asing. Meskipun demikian, hal ini juga menimbulkan isu privasi, terutama terkait dengan desain e-CNY yang memungkinkan pelacakan.
  • Ketahanan Sistem
    Memiliki infrastruktur pembayaran domestik yang kuat dapat meningkatkan ketahanan ekonomi terhadap guncangan eksternal atau sanksi yang mungkin menargetkan infrastruktur keuangan global.

Implikasi bagi Sistem Pembayaran Global

Munculnya sistem pembayaran nasional yang kuat memiliki implikasi signifikan bagi lanskap global:

  • Tantangan bagi Pemain Lama
    Inisiatif seperti QRIS dan e-CNY, bersama dengan tren serupa di negara lain, dapat menantang model bisnis pemain jaringan kartu global dan pemroses pembayaran yang sudah mapan, terutama di pasar domestik negara berkembang.
  • Fragmentasi vs. Interoperabilitas
    Terdapat potensi ketegangan antara munculnya berbagai sistem nasional dan regional (yang dapat menyebabkan fragmentasi ekosistem pembayaran global) dan upaya simultan untuk membangun interoperabilitas di antara sistem-sistem baru ini (misalnya, melalui Project Nexus, mBridge, atau standar CBDC yang diupayakan oleh BIS).
  • Geopolitik Pembayaran
    Perkembangan ini menegaskan kembali bahwa sistem pembayaran telah menjadi arena persaingan geopolitik, terutama antara kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok, yang masing-masing berusaha membentuk arsitektur keuangan masa depan sesuai dengan kepentingan strategis mereka.

Kedaulatan finansial bukanlah konsep absolut, melainkan sebuah spektrum. QRIS meningkatkan kedaulatan terutama di tingkat domestik dan regional (ASEAN) dengan menstandarkan infrastruktur dan mempromosikan LCT. Sementara itu, e-CNY mewakili bentuk kedaulatan yang berpotensi lebih dalam, menyentuh sifat dasar uang itu sendiri dan menawarkan alat untuk menantang dinamika mata uang global, meskipun adopsi internasionalnya menghadapi rintangan signifikan. QRIS masih bergantung pada akun bank/e-wallet yang ada, sedangkan e-CNY adalah kewajiban langsung bank sentral. Oleh karena itu, kedua inisiatif ini mewakili titik yang berbeda dalam spektrum penegasan kontrol nasional atas aliran keuangan.

Di sisi lain, muncul potensi pertukaran (trade-off) antara kedaulatan dan efisiensi dalam pembayaran lintas batas. Sementara sistem nasional/regional meningkatkan kedaulatan, mereka berisiko menciptakan silo-silo baru jika interoperabilitas global tidak tercapai. Dorongan untuk kedaulatan mungkin bertentangan dengan efek jaringan global yang membuat sistem seperti Visa/Mastercard/SWIFT efisien (meskipun mahal dan terkontrol). 

Keberhasilan sistem alternatif bergantung pada kemampuan mengatasi potensi pertukaran ini. Sistem global mendapat manfaat dari penerimaan luas dan efek jaringan. Sistem nasional/regional seperti QRIS Antarnegara dan mBridge bertujuan untuk peningkatan efisiensi (kecepatan, biaya) tetapi saat ini memiliki cakupan geografis terbatas. Upaya seperti Project Nexus dan pekerjaan BIS pada interoperabilitas CBDC bertujuan untuk menjembatani potensi silo ini. Kritik USTR terhadap QRIS mengisyaratkan kekhawatiran tentang fragmentasi. 

Oleh karena itu, pencarian kedaulatan harus diimbangi dengan kebutuhan akan solusi lintas batas yang praktis dan efisien, mendorong upaya menuju standar interoperabilitas untuk sistem nasional/regional baru ini.

Masa Depan Pembayaran, Kedaulatan, dan Strategi

Analisis terhadap QRIS Indonesia dan e-CNY Tiongkok mengungkapkan tren global yang signifikan dalam evolusi sistem pembayaran. QRIS telah terbukti sukses sebagai standar nasional yang menyatukan lanskap pembayaran digital domestik Indonesia, meningkatkan efisiensi, mendorong inklusi keuangan UMKM, dan kini merambah konektivitas regional di ASEAN melalui skema LCT. Di sisi lain, e-CNY merupakan proyek CBDC yang lebih ambisius, tidak hanya menargetkan efisiensi pembayaran ritel domestik tetapi juga bertujuan memperkuat kontrol bank sentral, meningkatkan kemampuan pengawasan negara, dan menyimpan potensi jangka panjang untuk internasionalisasi RMB serta menantang tatanan keuangan global yang ada.

Kedua inisiatif ini, meskipun berbeda dalam pendekatan dan cakupan, secara fundamental menggarisbawahi meningkatnya penekanan negara-negara pada pentingnya mengendalikan infrastruktur pembayaran digital mereka sendiri. Di dunia yang semakin digital, kontrol atas rel pembayaran dan data transaksi dipandang krusial untuk ketahanan ekonomi, inklusi sosial, dan penegasan kedaulatan finansial. Dorongan ini muncul sebagai respons terhadap dominasi pemain global, potensi risiko dari inovasi swasta yang tidak teregulasi, dan keinginan untuk memiliki alat kebijakan yang lebih efektif di era digital.

Ke depan, lanskap pembayaran global kemungkinan akan terus diwarnai oleh pengembangan sistem pembayaran nasional dan regional yang lebih lanjut. Tantangan utama adalah memastikan interoperabilitas antar sistem yang berbeda ini untuk menghindari fragmentasi yang dapat menghambat perdagangan dan efisiensi global. Peran CBDC, baik ritel maupun grosir, akan terus dieksplorasi oleh bank sentral di seluruh dunia, dengan pelajaran penting yang dipetik dari pengalaman negara-negara perintis seperti Tiongkok dan negara-negara Karibia atau Afrika yang telah meluncurkannya.

Perjalanan QRIS dan e-CNY menawarkan wawasan krusial tentang interaksi kompleks antara teknologi (seperti QR code, CBDC, DLT), kepentingan nasional (kedaulatan, efisiensi, inklusi, kontrol), dan dinamika geopolitik. Masa depan arsitektur pembayaran global akan dibentuk oleh bagaimana kekuatan-kekuatan ini berinteraksi. Apakah kita akan menyaksikan fragmentasi yang lebih besar, munculnya bentuk-bentuk interoperabilitas baru yang inovatif, atau terciptanya sistem hibrida yang menggabungkan elemen-elemen lama dan baru, masih merupakan pertanyaan terbuka. Namun, jelas bahwa negara-negara seperti Indonesia dan Tiongkok tidak lagi hanya menjadi pengikut dalam evolusi pembayaran, tetapi secara aktif berusaha menempa jalur mereka sendiri menuju masa depan finansial yang lebih berdaulat dan efisien.

sistem mata uang emas

Saatnya Melirik Emas Sebagai Sistem Mata Uang Dunia

Ada beberapa alasan mengapa emas secara historis cocok untuk sistem mata uang dunia yang adil, meskipun sistem ini memiliki tantangan tersendiri:

  1. Nilai Intrinsik dan Penerimaan Universal:

    • Emas memiliki nilai yang diakui secara global karena kelangkaannya, keindahan, dan kegunaannya dalam industri serta perhiasan. Berbeda dengan mata uang fiat (seperti Rupiah atau Dolar AS) yang nilainya didasarkan pada kepercayaan pada pemerintah yang menerbitkannya, emas memiliki nilai yang dianggap inheren.
    • Sepanjang sejarah dan di berbagai budaya, emas telah diterima sebagai alat tukar atau penyimpan nilai.
  2. Pasokan Terbatas dan Alami:

    • Jumlah emas di dunia terbatas dan tidak dapat diciptakan begitu saja oleh pemerintah atau bank sentral. Pertumbuhannya relatif lambat, bergantung pada penambangan baru.
    • Keterbatasan pasokan ini mencegah devaluasi mata uang yang disengaja melalui pencetakan uang berlebihan (inflasi) oleh suatu negara untuk keuntungan sepihak (misalnya, membayar utang dengan uang yang nilainya lebih rendah). Ini dianggap "adil" karena menjaga daya beli mata uang secara lebih stabil.
  3. Daya Tahan (Durabilitas):

    • Emas tidak berkarat, tidak memudar, dan tidak mudah rusak. Sifat fisiknya ini membuatnya menjadi penyimpan nilai yang tahan lama selama ribuan tahun.
  4. Mudah Dibagi (Divisibility) dan Seragam (Fungibility):

    • Emas dapat dibagi menjadi unit-unit yang lebih kecil (koin, batangan kecil) tanpa kehilangan nilai proporsionalnya.
    • Satu ons emas murni sama nilainya dengan satu ons emas murni lainnya, di mana pun itu berada. Ini memudahkan standarisasi dan perdagangan.
  5. Mendisiplinkan Kebijakan Fiskal dan Moneter:

    • Dalam sistem standar emas (di mana mata uang suatu negara didukung oleh atau dapat ditukarkan dengan sejumlah emas tertentu), pemerintah tidak dapat mencetak uang seenaknya. Mereka harus memiliki cadangan emas yang cukup.
    • Hal ini secara teori memaksa pemerintah untuk lebih disiplin dalam pengeluaran dan mencegah defisit anggaran yang berlebihan, yang dapat dianggap sebagai fondasi ekonomi yang lebih "adil" dan stabil dalam jangka panjang.
Tantangan yang hadir terkait masalah teknis dan kekakuan pasokan, sebenarnya bisa diatasi dengan sistem e-CNY Tiongkok, dimana nilainya dianggap sama dengan mata uang fisik yang disimpan bank central. Tentu ini menunggu kemauan politik daripada elit pemegang kebijakan di masing-masing negara.

Posting Komentar untuk "QRIS dan e-CNY Studi Kasus Perlombaan Pembayaran Digital dan Upaya Meraih Kedaulatan Finansial"